LASSERNEWS.COM - Samosir, Kapal KM Sinar Bangun tenggelam di perairan Danau Toba, Sumatera Utara, pada pukul 17.30 WIB. "Kapal KM. Sinar Bangun karam di perairan Danau Toba Prapat diduga akibat cuaca buruk," katanya, Senin (18/6/2018). Dari Pelabuhan Simanindo, Kabupaten Samosir, menuju Tigaras Parapat, Kabupaten Simalungun.
Dari data dari komando daerah militer I/BB sebanyak 185 korban baik nahkoda dan penumpang. 18 orang dengan selamat, 1 meninggal dan 166 yang hilang.
Pemerintah pusat harus langkah cepat menangani kejadian ini. Apalagi terkhusus kepada pemerintah daerah kabupaten samosir dan simalungun harus singkron dan saling kerja sama.
Dalam keberangkatan penumpang di dalam kapal harus betul-betul pengawasan ketat. Bahkan pemerintah daerah harus tahu berapa kapasitas kapal dan ukuran kapal. Jangan sampai melebihi kapasitas, mengapa pengelola/syahbandar menginzinkan hal ini. Sangat aneh rasanya kalau pemerintah daerah tidak peka dengan tamu dan rakyatnya.
Penyebab kejadian ini sangat kompleks dan menunjukkan sangat bobroknya sistem pengaturan, pengendalian, dan pengawasan pelayaran kita, khususnya terkait pengawasan kelaiklautan kapal, manajemen keamanan dan keselamatan pelayaran, serta sistem telekomunikasi pelayaran (UU no 17 tahun 2018 tentang Pelayaran).
Melihat peristiwa memilukan seperti ini dapat terjadi di Danau Toba yang sedang digaungkan kembali sebagai objek wisata prioritas berskala internasional, maka bisa dibayangkan bagaimana kondisi sistem pelayaran kita di daerah lainnya di seluruh Indonesia. Pemerintah provinsi sumut harus betul-betul siap untuk destinasi pariwisata, terkhusus dalam angkutan darat, udara dan danau/laut.
Undang-Undang no.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menyatakan bahwa pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim. Sedangkan keselamatan dan keamanan pelayaran adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan yang menyangkut angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan lingkungan maritim.
Sangat disayangkan, harus ada korban, baru kita diingatkan tentang bobroknya sistem pelayaran kita. Padahal Presiden RI Ir. Joko Widodo sangat memiliki visi yang besar untuk memperbaiki bangsa dan negara ini, sayangnya tidak didukung pejabat di bawahnya yang serius dan berani membenahi sistem dilapangan yang langsung bersentuhan dengan pelayanan masyarakat langsung. Harus ada yang diganti. Harus ada perombakan besar-besaran. Jika tidak, lantas siapa yang bertanggung jawab atas kasus kecelakaan kapal itu? Siapa yang bertanggung jawab jika terus menerus pembiaran merajalela.
Berdasarkan UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, selain nakhoda dan pemilik kapal yang harus bertanggungjawab bahkan bisa dikenakan pidana karena kejadian yang menimbulkan korban jiwa ini, ada beberapa pihak lain yang juga harus bertanggungjawab. Undang-Undang Pelayaran, yang bertanggungjawab ini mulai dari level paling teknis hingga paling tinggi : Nahkoda, Pemilik Kapal, Syahbandar, Bupati, Gubernur, Tim SAR (Basarnas), bahkan Menteri Perhubungan republik indonesia. Belum lagi kita bahas soal Peraturan Menteri Perhubungan RI Nomor 39 Tahun 2017 Tentang Pendaftaran dan Kebangsaan kapal. Semua stakeholder harus memahami uu tersebut, biar tidak asal-asal menjabat dan bekerja.
Persoalan tanggungjawab ini juga harus sinkronisasi dan runut, tidak boleh ada yang satu tidak mengetahui dengan yang lain.
Kami dari Keluarga Besar GMKI sangat Turut berdukacita atas kejadian ini, semoga Tuhan Allah menguatkan keluarga yang ditinggal. (Sipa Munthe)
Dari data dari komando daerah militer I/BB sebanyak 185 korban baik nahkoda dan penumpang. 18 orang dengan selamat, 1 meninggal dan 166 yang hilang.
Pemerintah pusat harus langkah cepat menangani kejadian ini. Apalagi terkhusus kepada pemerintah daerah kabupaten samosir dan simalungun harus singkron dan saling kerja sama.
Dalam keberangkatan penumpang di dalam kapal harus betul-betul pengawasan ketat. Bahkan pemerintah daerah harus tahu berapa kapasitas kapal dan ukuran kapal. Jangan sampai melebihi kapasitas, mengapa pengelola/syahbandar menginzinkan hal ini. Sangat aneh rasanya kalau pemerintah daerah tidak peka dengan tamu dan rakyatnya.
Penyebab kejadian ini sangat kompleks dan menunjukkan sangat bobroknya sistem pengaturan, pengendalian, dan pengawasan pelayaran kita, khususnya terkait pengawasan kelaiklautan kapal, manajemen keamanan dan keselamatan pelayaran, serta sistem telekomunikasi pelayaran (UU no 17 tahun 2018 tentang Pelayaran).
Melihat peristiwa memilukan seperti ini dapat terjadi di Danau Toba yang sedang digaungkan kembali sebagai objek wisata prioritas berskala internasional, maka bisa dibayangkan bagaimana kondisi sistem pelayaran kita di daerah lainnya di seluruh Indonesia. Pemerintah provinsi sumut harus betul-betul siap untuk destinasi pariwisata, terkhusus dalam angkutan darat, udara dan danau/laut.
Undang-Undang no.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menyatakan bahwa pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim. Sedangkan keselamatan dan keamanan pelayaran adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan yang menyangkut angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan lingkungan maritim.
Sangat disayangkan, harus ada korban, baru kita diingatkan tentang bobroknya sistem pelayaran kita. Padahal Presiden RI Ir. Joko Widodo sangat memiliki visi yang besar untuk memperbaiki bangsa dan negara ini, sayangnya tidak didukung pejabat di bawahnya yang serius dan berani membenahi sistem dilapangan yang langsung bersentuhan dengan pelayanan masyarakat langsung. Harus ada yang diganti. Harus ada perombakan besar-besaran. Jika tidak, lantas siapa yang bertanggung jawab atas kasus kecelakaan kapal itu? Siapa yang bertanggung jawab jika terus menerus pembiaran merajalela.
Berdasarkan UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, selain nakhoda dan pemilik kapal yang harus bertanggungjawab bahkan bisa dikenakan pidana karena kejadian yang menimbulkan korban jiwa ini, ada beberapa pihak lain yang juga harus bertanggungjawab. Undang-Undang Pelayaran, yang bertanggungjawab ini mulai dari level paling teknis hingga paling tinggi : Nahkoda, Pemilik Kapal, Syahbandar, Bupati, Gubernur, Tim SAR (Basarnas), bahkan Menteri Perhubungan republik indonesia. Belum lagi kita bahas soal Peraturan Menteri Perhubungan RI Nomor 39 Tahun 2017 Tentang Pendaftaran dan Kebangsaan kapal. Semua stakeholder harus memahami uu tersebut, biar tidak asal-asal menjabat dan bekerja.
Persoalan tanggungjawab ini juga harus sinkronisasi dan runut, tidak boleh ada yang satu tidak mengetahui dengan yang lain.
Kami dari Keluarga Besar GMKI sangat Turut berdukacita atas kejadian ini, semoga Tuhan Allah menguatkan keluarga yang ditinggal. (Sipa Munthe)
Posting Komentar