SWARAHUKUM.com-Jawa Tengah, Setelah 94 tahun berlangsungnya Kongres Perempuan Indonesia pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, kiprah perempuan Indonesia cukup mewarnai peran strategis di ranah publik.
Baik di sektor ekonomi, sosial, budaya, maupun politik. Namun, jumlah perempuan berpartisipasi di ruang publik belum setara bila melihat fakta di lapangan. Jumlah perempuan pemimpin masih jauh kecil dibanding laki-laki yang menduduki jabatan pimpinan. Misalnya, jumlah anggota kabinet perempuan di perintahan Joko Widodo, berjumlah 6 orang menteri perempuan dari 34 kementerian (14,7%), keterwakilan perempuan di legislatif berjumlah 123 dari 573 orang (20,8% ), jumlah petinggi POLRI perempuan berpangkat Brigadir Jenderal dan Inspektur Jenderal hanya 3 (tiga) orang dari 24.722 jumlah polwan.
Sementara itu, jumlah anggota TNI perempuan hanya 8.850 dari total jumlah 444.133 personel TNI, berarti sekitar 2% saja (data Kementerian PPPA).
Lalu, yang menduduki jabatan jenderal hanya 4 orang dari total 371 jabatan jenderal. Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin menyebut hanya jumlah perempuan di lingkungan PNS sudah cukup menggembirakan, yaitu 53% (2,14 juta) perempuan dan 47% (1,93 juta) laki-laki. “Namun demikian, seiring dengan perjalanan karier, jumlah perempuan yang menduduki jabatan eselon I dan II tidak sebanding dengan jumlah pejabat laki-laki, yaitu hanya 13%,” ucap Mariana dalam keterangannya, Kamis (22/12).
Timpangnya jumlah jabatan strategis antara perempuan dan laki-laki di sejumlah lembaga dan institusi tersebut menjadi sebuah pertanyaan di saat sejumlah kebijakan lembaga/institusi tidak memberlakukan diskriminasi dalam memberikan akses laki-laki dan perempuan dalam meniti jenjang karier. Misalnya, secara khusus, manajemen ASN di Indonesia menggunakan sistem merit yang memastikan setiap kebijakan dan manajemen ASN didasarkan pada kualifikasi, kompetensi dan kinerja secara adil, tanpa diskriminasi apa pun, termasuk gender.
Adanya kebijakan tersebut memberikan dasar penentuan indikator kinerja berbasis potensi dan kapasitas setiap ASN. Dalam hal ini, tanpa memandang jenis kelamin dan pola diskriminasi lainnya, yang dapat dikatakan sangat ‘netral gender’.
“Setiap orang, laki-laki dan perempuan, hanya dinilai berdasarkan keahliannya. Berasumsi bahwa setiap orang akan mendapat manfaat dari perlakuan yang sama. Padahal, kondisi perempuan dan laki-laki tidak sama. Baik secara biologis dan peran gender dalam keluarga yang sangat dipengaruhi kultur,” tutur Mariana.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan dan Pemuda Kemenko PMK Femmy Eka Kartika berpendapat peringatan Hari Ibu harus menjadi momentum untuk memperbaiki kualitas sumber daya perempuan. Menurutnya, masa depan peradaban Indonesia ditentukan seberapa terdidik dan berdayanya perempuan Indonesia.
“Saya yakin kalau akses pendidikan diberikan seluas-luasnya untuk perempuan, kualitas bangsa kita ke depan akan baik,” kata Femmy.(OL-11)
Sumber : mediaindonesia.com, DETEKSI.co
Editor : UL Gaho
Posting Komentar